Berikut
surat aduan sejumlah lembaga dan individu ke Komnas HAM terkait kasus
perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami
oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
Salatiga. Hari ini, Kamis, 22 Oktober 2015. Diterima oleh Komisioner Komnas HAM
Ansori Sinungan.
Jakarta,
22 Oktober 2015
Kepada
Yth.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia
Di
Jakarta
Dengan
hormat,
Bersama
dengan surat ini, kami perwakilan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil dan
individu bersama-sama menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya
perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami
oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
Salatiga. Kami mengecam keras upaya sejumlah pihak untuk menarik peredaran
majalah Lentera edisi 3 Tahun 2015 berjudul “Salatiga Kota Merah”, serta
interogasi sejumlah awak Lembaga Pers Mahasiswa Lentera oleh aparat Kepolisian
Resor Salatiga.
Kami
menilai langkah sejumlah pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera
melanggar hak asasi manusia mahasiswa UKSW untuk berekspresi dan menyampaikan
informasi. Kami juga menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera itu melanggar
hak asasi manusia warga negara lain untuk memperoleh informasi dan karya
jurnalistik para jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa Lentera seputar pelanggaran
hak asasi manusia berat yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Pada
Jumat, 9 Oktober 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) menerbitkan edisi Majalah Lentera yang berjudul
“Salatiga Kota Merah”. Majalah Lentera mempublikasikan karya jurnalistik investigasi
dan jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September bagi Kota
Salatiga, dengan melakukan penelusuran tentang Walikota Salatiga Bakri Wahab
yang diduga anggota PKI, serta penangkapan Komandan Korem 73/Makutarama
Salatiga. Selain itu, Majalah Lentera juga mengupas peristiwa pembantaian
simpatisan dan terduga PKI di Kota Salatiga dan sekitarnya, dengan melakukan
reportase empat titik pembantaian—Lapangan Skeep Tengaran, Kebun Karet di
Tuntang dan Beringin, serta di Gunung Buthak di Susukan.
Edisi
“Salatiga Kota Merah” terbit 500 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 15.000.
Majalah itu disebarluaskan masyarakat Kota Salatiga dengan menitipkannya di
kafe serta beberapa tempat yang memasang iklan dalam majalah tersebut. Lentera
juga disebarluaskan ke instansi pemerintahan di Salatiga dan organisasi
kemasyarakatan di Semarang, Jakarta, dan Yogyakarta.
Publikasi
Majalah Lentera telah mengembangkan pendapat umum warga Salatiga dan sekitarnya
mengenai peristiwa Gerakan 30 September, dampak peristiwa itu bagi kehidupan
warga Kota Salatiga, dan peristiwa pembantaian massal orang-orang yang dituduh
simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia. Pendapat umum itu tentu saja
diwarnai pro dan kontra, menjadi diskursus umum yang mewarnai ruang-ruang publik,
sebagaimana yang lazim terjadi dalam negara demokrasi manapun di dunia.
Akan
tetapi sepekan setelah penerbitan Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”,
persisnya 16 Oktober 2015, pimpinan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dipanggil
menghadap Rektor UKSW, Pembantu Rektor UKSW, Dekan Fiskom, dan Koordinator
Bidang Kemahasiswaan (Koordbidkem) Fiskom di Gedung Administrasi Pusat UKSW.
Kesepakatan yang dihasilkan adalah redaksi Lentera harus menarik semua majalah
yang tersisa dari semua agen. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan situasi
yang kondusif pada masyarakat Kota Salatiga. Polisi secara sepihak juga menarik
peredaran Majalan Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
Pada
Minggu, 18 Oktober 2015, Pemimpin Umum LPM Lentera Arista Ayu Nanda, Pemimpin
Redaksi LPM Lentera Bima Satria Putra, bersama bendahara LPM Lentera Septi Dwi
Astuti diinterogasi di Markas Kepolisian Resor Salatiga. Interogasi itu
dilakukan dengan sepengetahuan Dekan Fiskom, Koorbidkem Fiskom, Pembantu Rektor
II, III dan V.
Pasal
28F Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia. Kami menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera
melanggar hak konstitusional para awak redaksi LPM Lentera dan masyarakat umum
untuk berkomunikasi, menyebarluaskan, dan memperoleh informasi yang ada dalam
karya jurnalistik para jurnalis LPM Lentera.
Kami
juga menilai para pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar
jaminan Pasal 28C Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga
negara mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia. Selain inkonstitusional, pelarangan peredaran Majalah Lentera juga melanggar
berbagai jaminan hak asasi manusia dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Melalui
pengaduan ini, kami meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menempuh segala
upaya di dalam kewenangannnya untuk memastikan hal-hal berikut ini:
1. Penghentian
upaya penarikan peredaran Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
2. Pengembalian
peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh
publik, demi mengembangkan pendapat umum terkait karya-karya jurnalistik dalam
Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
3. Penghentian
segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang
tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.
4. Para
mahasiswa dan jurnalis yang ada dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera tidak
dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya,
Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan
jajarannya—baik pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang.
5. Lembaga
Pers Mahasiswa Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan
mahasiswa yang resmi, bebas dari praktik sensor dan bredel dari pihak mana pun.
6. Kebebasan
akademik civitas akademika UKSW dapat dilaksanakan tanpa intimidasi dan
intervensi dari pihak mana pun.
Demikian
pengaduan ini kami sampaikan. Terima kasih.
Hormat
kami,
1. Ketua
Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI),
Agung Sedayu
2. Ketua
Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), Suwarjono
3. Lembaga
Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Asep Komaruddin
4. Koordinator
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar
5. Social
Blogger, Damar Juniarto
6. Perupa,
Dolorosa Sinaga
7. Peneliti
IPT 65, Ayu Wahyuningroem
8. Koordinator
Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Dr R Herlambang P
Wiratraman
9. Kepala
Pusham Unimed, Majda El Muhtaj
10. Ketua
Aliansi Jurnalis Independen Semarang (AJI Semarang), M Rofi’udin
11. Ketua
Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta), Ahmad Nurhasyim
12. Sekretaris
Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad
13. Forum
Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar (FAA PPMI
Makassar), M Sirul Haq
14. Ketua
Dewan Pengurus Yayasan Pulih, Miryam Nainggolan
15. Senior
Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on
Indonesia Development, Mugiyanto
16. Sekretaris
Eksekutif Syarikat Indonesia, Ahmad Murtajib
17. Direktur
Program Indonesia dan Regional Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita
18. Program
Manajer Indonesia AJAR, Dodi Yuniar
19. Pegiat
HAM dan Demokrasi, Zico Mulia
20. Direktur
Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan, Anik Wusari
21. Peneliti
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar
22. Peneliti
Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto
23. Manajer
Program Yayasan TIFA, R Kristiawan
24. Konfederasi
Pergerakan Rakyat Indonesia Jakarta, Rio Ayudhia Putra
Sumber
: persma.org
0 komentar:
Posting Komentar